Senin, 23 Februari 2009

Hobinomik!


Dari Bandung hingga New York, pojok Jogja hingga Perth, mereka melanglang dengan merdeka sembari memetik rezeki dari hobi. Jalan mereka adalah indie—independen—emoh terikat pada industri pasar.

Jagat mereka selebar bola dunia, dipertalikan oleh seutas benang merah: kreativitas diri. Sambutlah mereka, Generasi Indie, yang kian melintas dunia dengan memilih jalan indie, independen, mereka emoh didikte arus utama industri pasar dalam urusan produk dan kreativitas. Ekspresif, berani tampil beda, percaya seisi dunia bisa dirangkul, adalah beberapa cirinya. Mereka mewakili fenomena anak muda paling asyik saat ini: hobinomik. Dari hobi, duit dipanen. Dari hobi, rezeki dipanggil.

Hobinomik bukan istilah kosong.
Hasil penelitian terbaru ”Youthology”, yang digelar Ogilvy Public Relations di Jakarta, 2006, merekam denyut kehidupan anak muda kita. Selama ini boleh dikata belum ada riset komprehensif untuk menggambarkan ”anatomi” anak muda Indonesia—kini sekitar 44 juta jiwa atau 20 persen populasi. ”Kita cuma samar-samar mengerti mereka,” kata Wan Lie, anggota tim Ogilvy.

Riset digelar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Makassar, Medan, dan Yogyakarta. Total responden ada 385 pasang anak muda berusia 15-24 tahun. Mereka diwawancarai secara mendalam berkali-kali. Sebagian responden diikuti irama hidupnya secara intensif.
Hasilnya? Sebagian besar responden, 61 persen, menjalani hidup dengan gaya DIY—do it yourself dan do what you love.

Pendek kata, gue banget. Panyu saleg, kata wong Jogja. Intinya, aku bisa bikin baju, sepatu, musik, aksesori, film, majalah. Apa saja yang disuka. ”Semangat independen, antikemapanan, menjadi tema utama anak muda,” kata Wan Lie.
Dan, hobinomik adalah muaranya.

Mayoritas responden, 92 persen, menjadi pelaku atau mengenal kawan kerabat yang memetik rupiah lewat hobi. Ada perancang busana, fotografi, pemandu sorak, perancang situs web, pemandu musik (disc jockey), sampai menjadi ilustrator film animasi dan melakukan modifikasi motor.

Penelusuran Tempo di lapangan mengukuhkan hasil riset Ogilvy. Hobinomik kencang bergerak, terutama pada komunitas bawah tanah (underground). Distro, yang menjamur beberapa tahun belakangan, salah satu patokannya. Toko khas anak muda ini tersebar sampai ke gang sempit, unjuk gigi di latar-latar urban.

Perkenalkan, Cimot (Jogja). Usianya 18 tahun, Hobinya mendisain. Hobi ini ia tuang ke dalam rancangan busana elektrik mencolok dengan sentuhan segar ala Harajuku, gaya bebas ala anak muda Jepang karena memang kebetulan orangnya seperti suneo di kartun Doraemon.

Dia dan ribuan anak muda lain yang mencemplungkan diri ke wilayah hobinomik menunjukkan satu hal: hukum besi ekonomi berlaku pada segala zaman. Pasar hobinomik terbuka luas karena ada permintaan. Satu hal, mereka tidak sudi didikte.

Filosofi do it yourself membuat anak-anak muda itu tak mudah terpikat oleh merek. ”Yang penting bukan merek, tapi gaya ku sendiri,”. Mengenakan baju bermerek, selain mahal, juga berisiko dikembari orang lain. Apalagi baju versi Mangga Dua. ”Itu baju sejuta umat. Nggak banget, deh,”.

Walhasil, distro yang menjajakan segala macam kebutuhan anak muda—busana, musik, film, aksesori, majalah—menjadi alternatif segar.
Hobinomik pun mendapat tempat.
Ideologi gue banget juga membuat Jakarta bukan lagi kiblat tren anak muda. Sebagian besar responden riset Ogilvy, 62 persen, menyatakan sayonara kepada Jakarta sebagai pusat tren. Berkat televisi dan Internet, tren terbaru, baik yang arus utama (mainstream) maupun bawah tanah (underground) di London, New York, Milan, Tokyo, bisa diendus setiap saat.

Sayonara buat Jakarta membikin ciri khas lokal berkibar. Koleksi distro di Yogya, misalnya, desainnya lebih berani, warnanya lebih mencolok di-banding barang-barang keluaran Jakarta dan Bandung. ”Kami nggak mungkin merancang fashion ala distro di Bandung, yang sebagian besar orangnya berkulit kuning,” kata Aditya Dhenni, Marketing Manager Distro Mail Box, Yogyakarta.
Di dunia indie, mereka merayakan keragaman.

Gustaff Iskandar, pengelola Bandung Center for Media Arts, berpendapat senada. ”Anak muda sekarang lebih menghargai perbedaan,” katanya. Mereka tumbuh dan mengalami dampak krisis ekonomi dan politik, 1998. Karya-karya beragam adalah jurus mereka untuk bertahan, survival. Meminjam istilah Gustaff, ”Mereka tidak terikat pada pakem konvensional.”

Alhasil, karya mereka tersedia bagi siapa saja. Yang gendut, buntet, langsing, hitam, kuning langsat, semua diberi tempat. Semacam ”antitesis” bagi industri fashion konvensional yang mengutamakan model ”kutilang darat”: kurus, tinggi, langsing, berdada rata.

Gustaff juga memandang anak muda sekarang punya ruang lebih untuk multi-identitas. Pagi jadi anak kuliahan, siang main di klub basket, malam ikut pengajian di mushola. ’Dugem’ di klub malam pun bukan soal tabu. Kotak-kotak identitas menjadi lentur. ”Setiap orang menjadi individu yang unik dan berwarna,” Gustaff menambahkan.

Pada galibnya, mereka juga motor perubahan. Danny Satrio, redaktur majalah Hai, membenarkan bahwa anak muda abad ke-21 jauh lebih ekspresif dan percaya diri. ”Mereka nggak malu tampil, biarpun keahlian masih cethek,” kata Danny.

Para yunior ini, sebagian dari mereka adalah tulang punggung Generasi Indie, umumnya diperanakkan oleh ge-nerasi pascaperang. Orang tua mereka adalah saksi rezim pemerintahan Soeharto, yang menyeragamkan banyak segi kehidupan: sedikit berpikir melenceng dicap subversif. Taraf pendidikan dan ekonomi bertumbuh. Dan para senior tak sudi anak-cucu mereka tumbuh dalam kekangan. Walhasil, ”Mereka lebih demokratis, lebih santai, lebih longgar mengawasi anak-anak,” kata Darmanto Jatman, budayawan dan psikolog di Semarang, Jawa Tengah.

Aspek demografi dan budaya pop bisa digunakan untuk memotret perubahan karakter anak muda seperti yang dicontohkan Darmanto di atas. Diennaryati Tjokrosuprihartono, psikolog khusus remaja, di Jakarta, juga meyakini bahwa kepercayaan masyarakat membuat anak muda sekarang lebih kaya inisiatif dan percaya diri.

Remy Silado, pengelola Aktuil, majalah yang amat populer pada tahun 70-an, adalah salah satu saksi perubahan anak muda. Menurut Remy, sebelum tahun 60-an anak muda cenderung ‘membebek’ tren luar negeri. Kiblat Amerika begitu kental hingga di zaman itu ada Gang Tangkiwood—meniru-niru Hollywood—di Jakarta Barat, tempat para seniman nongkrong. Grup-grup band ketika itu riuh menirukan gaya Beatles. A Riyanto manggung dengan berteriak ”ji, ro, lu, pat…auw..!”—terilhami pekikan John Lennon, ”one, two, three, four….auw…!”

Soal fashion juga tiru-tiru. Model baju diambil dari majalah yang dibeli kawan yang baru pulang dari luar negeri. Pernah pamor bintang film James Dean meroket dengan celana jins macho. Apa daya, di Bandung-Jakarta model begini belum beredar. Apa akal? ”Kami datang ke penjahit khusus, cari kain paling mirip, bikin celana jins,” kata Remy. Penyair Sutardji Chalzoum Bachri, kata Remy mengenang, waktu itu bangga sekali memakai jins van Bandung.

Lalu datang era 70-an dan 80-an. Iklim antikemapanan ala punk kencang bertiup. Grup band yang menomorsatukan disharmoni, seperti Velvet Underground dan The Sex Pistols, menjadi idola. Anak-anak muda mulai bergaya ngepunk dengan rambut jabrik—semangat yang masih terasa sampai kini.

Iklim tiru-meniru masih kental hingga dekade 1990 sampai sekarang. Tapi, hei, apa sih di dunia ini yang seratus persen orisinal? Menurut Dendy Darman, tren desain grafis terkini malah cut and paste. Ambil sedikit dari sini, gabungkan dengan itu. Beri bumbu kreativitas. Jebret…, jadilah gaya baru yang lebih segar.
Kiblat anak muda 90-an juga lebih luas. Grup F-4 dari Taiwan, manga (komik) Jepang, gaya hip-hop New York, band indie di London, kelompok punk di Jerman. Juga Yamasaki—klub olahraga ekstrem di kawasan urban Prancis. ”Maka, terjadilah demokratisasi gaya,” kata Danny Satrio. Vibrasi perubahan makin kuat oleh revolusi media. Teknologi penyiaran. Perangkat digital. Komputer dan Internet.

Bermodal beberapa puluh ribu perak, film pendek bisa dibikin—tentu dengan kamera pinjaman. Ini berbeda dengan tahun 70-an, kata Remy Silado, ketika anak muda bermimpi menjadi bintang film.
Pada 1995, stasiun televisi musik, MTV, melanda Indonesia. Jargon ”gue banget” yang diusung MTV pas betul dengan semangat muda. MTV rajin menayangkan klip video band indie yang tidak bernaung di bawah industri rekaman raksasa.

Dan… mampu membikin anak muda tergila-gila. Sheila on 7, Slank, Endank Sukamti, Superman Is Dead, semuanya sukses di panggung indie. ”Mereka menjadi ilham bagi anak-anak muda,” kata Danny Satrio.
Harus diakui, tidak gampang bersetia pada jalur indie. Ketika bendera sudah berkibar, orang mudah tergoda bergabung dengan selera pasar. Band indie berganti panggung mainstream, distro beralih ke factory outlet. Kekuatan pasar yang melibas komunitas indie bukan ceritera baru di jalur industri modern. Walau ada saja, seperti beberapa anak muda di gudang tentara itu, yang mencoba bertahan sedapat-dapatnya. Ini sepotong obrolan Tempo dengan Dendy di ruang pamernya di Jalan Citarum, dua pekan lalu:

+ Pernah mempertimbangkan alternatif produk massal untuk item-item baju terlaris?
- Tidak. Maksimal per desain 60 potong. Saya kan jualan attitude, bukan jualan baju.
+ Attitude siga kumaha, Kang. Yang bagaimana?
- Jadi diri sendiri! Nggak asyik kalau cuma membebek.

(http://www.tempointeraktif.com and cannizaro)

Kreatifitas & Komunitas


Ketika suatu kreatifitas dan komunitas dewasa ini dipandang dapat menumbuhkan suatu peluang bisnis baru, maka tercetuslah ide untuk membuat suatu bentuk bisnis yang melatar belakangi keduanya.

Ketika penempatan pasar yang menonjolkan pada segment tertentu (tersegmented) berperan didalamnya maka terlahirlah suatu ide bagaimana menggabungkan keduanya (kreatifitas dan komunitas) ke dalam suatu wadah bejana bisnis yang berpeluang dan potensial.

Ketika terjadi proses yang sangat matang dalam research dan perencanaan, maka terbentuklah suatu ide untuk menggabungkan bisnis kreatifitas dan komunitas dengan memprioritaskan anak muda yang getol dengan budaya pop-(pop culture)nya sebagai unsur yang akan dibidik untuk penempatan pasar, terpilihlah suatu konsep dengan mendirikan suatu Distro (Distribution Store).

Kaos, bukanlah soal sandang belaka. Fesyen yang dulu sekedar simbol tingkatan kelas dalam masyarakat saat ini sudah diamini akan kemampuannya ‘berbicara’ sebagai identitas individu pemakainya. Maka kini, alternatif untuk berbelanja pakaian semakin beragam.

Kita telah mengenal department store bahkan butik yang membandrol harga selangit untuk perpotong pakaiannya. Trend yang ‘berbunyi paling kencang’ di kalangan anak muda sekarang adalah distro. Yang menjadi jualannya adalah ‘identitas khusus’ bagi penyandang produknya.

Distro (distribution store) sudah mulai marak di Jogja. Setelah Bandung dan Jakarta, Jogja sebagai kota yang ‘sumpek’ dengan pelajar, tak kalah menjadi peminat trend ini. Distro muncul dengan identitas dan ciri khas masing-masing. Memang, keunikan distro menjadi daya tarik tersendiri bagi anak muda mulai dari remaja hingga kalangan dewasa pengikut trend teranyar di Jogja. Kini sudah ada puluhan distro berdiri di Jogja.

Kekhasan distro adalah keterbatasan jumlah setiap koleksi pakaian yang mereka keluarkan. Bukan produksi massal, tampil beda, up to date dan tidak pasaran menjadi kekuatan daya jual produk distro yang jumlahnya limited. "Koleksi pakaian di distro punya identitas yang khas, dan lebih gaul. Koleksi distro yang terbatas membuat mereka tampil beda dari teman-temannya.”